top of page
Search
Writer's pictureBella F.

Apakah Pajak Karbon Indonesia Cukup?

Pajak Karbon 101

Emisi karbon menjadi salah satu penyebab utama dari perubahan iklim. Sadar akan mahalnya biaya untuk menangani perubahan iklim, negara-negara di dunia, diprakarsai oleh berbagai negara maju kemudian menerapkan sebuah kebijakan fiskal untuk menggali penerimaan dana dari emisi karbon. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan pajak karbon. Singkatnya, pajak ini adalah pajak yang dikenakan terhadap pemakaian bahan bakar berdasarkan karbon yang dikeluarkan. Menurut United Nations Environment Programme (UNEP), kebijakan pajak karbon bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan yang mengeluarkan emisi karbon membayar kompensasi sebesar kerusakan yang ditimbulkannya (polluter pays principle).


Ada dua alasan ‘utama’ beberapa negara menerapkan pajak karbon. Pertama ialah agar masyarakat beramai-ramai beralih dari brown energy (berasal dari bahan bakar fosil) ke green energy (energi terbarukan). Jika dilakukan secara masif, hal ini diharapkan dapat menurunkan emisi gas rumah kaca secara nasional yang dapat berkontribusi bagi pencegahan perubahan iklim. Hal kedua ialah untuk membuat penerimaaan ‘pendapatan baru’ bagi negara. Dengan adanya pajak karbon, maka pendapatan negara akan mendapat sumber baru yang kemudian bisa dialokasikan untuk berbagai kepentingan seperti pembinaan industri dan pengembangan teknologi dalam energi terbarukan, hingga digunakan untuk biaya kesehatan masyarakat di wilayah dampak limbah industri.


7 Oktober 2021 lalu Indonesia meresmikan adanya pajak karbon di Indonesia yang ditengarai dengan perubahan dan pengesahan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Rencananya, untuk tahap awal maka Indonesia akan menerapkan pajak karbon per 1 April 2022 dengan tarif Rp30,00 (tiga puluh rupiah) per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) yang difokuskan dulu pada sektor PLTU Batu Bara. Sudah melewati tanggal yang dijanjikan, ternyata pemerintah menunda penerapan pajak ini menjadi tanggal 1 Juli 2022, yang salah satu alasannya karena masih dibutuhkannya waktu untuk membuat roadmap dan peraturan pelaksana yang komprehensif.


Indonesia v. Negara Lain

Alasan lain yang diungkapkan Menteri Keuangan Indonesia atas penundaan pajak karbon pada 1 April 2022 ialah karena nilai yang ditetapkan sebelumnya dianggap terlau rendah. Pajak yang setara dengan US$2.09 per ton ini dinilai jumlahnya berada jauh di bawah dari milik kebanyakan negara-negara di dunia yang telah menerapkan pajak karbon.

Tiap-tiap negara memang memiliki kebijakan pajak karbon yang berbeda, namun untuk mengetahui perbandingan antar negara maka akan dihitung dengan satuan dolar Amerika Serikat per ton CO2e (tCO2e). Pengenaan pajak karbon tertinggi hingga saat ini masih dipegang oleh Swedia dengan US$137 per tCO2e. Hal ini terjadi bahkan meskipun Swedia bukanlah negara penghasil emisi global yang tinggi di dunia.


Berdasarkan data yang didapat dari World Resource Institute, Indonesia sendiri masuk ke dalam 10 negara penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia. Turut masuk di dalam daftar ini ialah Jepang dan Kanada yang juga telah memberlakukan pajak karbon di negara mereka. Sayangnya ada perbedaan yang signifikan antara harga karbon awal Indonesia yang sebesar US$2.09 per tCO2e dengan milik kedua negara yang sama-sama berada dalam daftar ini. Jepang sendiri memiliki pajak karbon sebesar US$3.00 per tCO2e, sedangkan Kanada berada pada kisaran US$32 per tCO2e.

Tak perlu jauh-jauh, bahkan jika kita membandingkan rencana pajak awal dengan negara tetangga seperti Singapura, Indonesia masih berada di bawah. Singapura sendiri sudah menetapkan kisaran US4$ per tCO2e. Kendati demikian, dari perbandingan-perbandingan ini perlu juga diperhatikan bahwa kondisi perekonomian Indonesia berbeda dengan negara-negara ini. Indonesia sendiri hadir sebagai negara berkembang pertama yang menerapkan pajak karbon untuk mendukung pemeliharaan iklim.

Jadi, cukup kah pajak karbon kita?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka juga harus dijawab dulu tentang kebutuhan apa saja sih, yang sebenarnya ingin kita ‘cukupi’ dengan pajak karbon ini?


Kebutuhan dana dalam mitigasi dan adaptasi climate change di Indonesia menurut Nationally Determined Contributions (NDCs) ialah sekitar Rp3.776 triliun-Rp3.779 triliun hingga tahun 2030. Nilai tersebut sangat besar dan akan memberatkan keuangan negara bila hanya menggunakan APBN. Sementara itu, pandemi Covid-19 mengakibatkan pertumbuhan ekonomi pada 2020 cukup menurun. Dengan 73,44% sumber penerimaan terbesar APBN yang berasal dari sektor perpajakan, jelas bahwa keputusan untuk menerapkan pajak karbon ialah hal yang tepat dilakukan. Namun hal ini juga harus tetap dengan memperhatikan perkembangan pasar karbon, pencapaian target NDCs, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.


Rencana terbaru pemerintah adalah untuk menaikkan pajak karbon ke angka US$5.20 per tCO2e. Bahana Sekuritas menghitung apabila pemerintah menerapkan pajak karbon sebesar US$ 5-US$ 10 per tCO2 yang mencakup 60% emisi energi, maka penerimaan negara bisa mencapai Rp 26 triliun-Rp 53 triliun per tahun. Hal ini tentu akan membawa penerimaan kas negara yang jauh lebih besar, dibandingkan dengan rencana tarif pajak karbon awal yang diundur pada 1 April 2022 lalu.


Sekarang, jika pertanyaannya ialah ‘apakah pajak karbon kisaran US$5 di Indonesia cukup untuk menambah pemasukan negara dan menjadi jawaban atas permasalahan bencana perubahan iklim?’ maka jawabannya bisa saja ‘iya.’




Sayangnya, itu bukanlah satu-satunya pertanyaan yang muncul. Pertanyaan lain yang kemudian akan mencuat ialah ‘apakah pajak karbon di Indonesia cukup untuk tetap menjamin kesejahteraan rakyatnya?’.


Jawaban dari pertanyaan ini harus dilihat dari berbagai sisi. Jika dilihat dari dampak langsung pengenaan pajak karbon akan ada beban ekonomi baru. Ini terjadi karena dengan PLTU Batu Bara membayar pajak karbon sebagai pengeluaran baru, maka harga energi akan meningkat dan akhirnya berimbas pada kenaikan berbagai hal seperti listrik dan bensin. Dalam sudut pandang ini maka rakyat belum akan tersejahterakan. Apalagi jika hal ini terjadi di tengah inflasi yang ada di Indonesia.



Namun, ada sudut pandang lain. Adanya pajak karbon dalam jumlah yang dinaikkan ini justru malah dipandang pro terhadap masyarakat menengah ke bawah. Hal ini karena perubahan iklim akan berdampak lebih buruk bagi perekonomian mereka. Penekanan pada sektor penghasil karbon diharapkan membuat masyarakat mulai beralih ke energi terbarukan dan berakhir menyelamatkan iklim. Itulah mengapa iklim harus diselamatkan salah satunya melalui pajak karbon. Di sini pemerintah juga harus konsideran agar bisa segera mengontrol dan menurunkan laju inflasi. Hal itu diperlukan agar pajak karbon bisa segera digunakan untuk membantu melindungi iklim dan agar pajak karbon tidak dikenakan saat terjadi inflasi yang kemudian bisa membuat masyarakat menjerit. Dalam sudut pandang ini maka pajak karbon di Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik akan cukup untuk menyejahterakan rakyatnya.


References

  1. 10 Negara Penyumbang Emisi Gas Rumah Kaca terbesar: Databoks [Internet]. Databoks Pusat Data Ekonomi dan Bisnis Indonesia; [cited 2022Apr12]. Available from: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/02/16/10-negara-penyumbang-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar

  2. Hoeller P, Wallin M. Energy prices, taxes and carbon dioxide emissions. Paris: OECD; 1991.

  3. Indonesia Delays Carbon Tax Amid Rising Inflation [Internet]. Jakarta Globe; 2022 [cited 2022Apr12]. Available from: https://jakartaglobe.id/business/indonesia-delays-carbon-tax-amid-rising-inflation

  4. Indonesia is set to introduce $2.1 per ton of CO2E Carbon Tax [Internet]. Jakarta Globe; 2021 [cited 2022Apr12]. Available from: https://jakartaglobe.id/business/indonesia-is-set-to-introduce-21-per-ton-of-co2e-carbon-tax

  5. Kenalkan Pajak Karbon untuk Mengendalikan Perubahan Iklim, Indonesia Ambil Manfaat Sebagai Penggerak Pertama di Negara Berkembang [Internet]. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Indonesia. 2021. [cited 2022Apr12]. Available from: https://fiskal.kemenkeu.go.id/publikasi/siaran-pers-detil/328

  6. Nugroho DN, . D, Rianto A. STRATEGI INDONESIA DALAM MENGURANGI EMISI KARBON DIOKSIDA (CO2) DI MASA NEW NORMAL. IP [Internet]. 25Mar.2022 [cited 12Apr.2022];1(1):228 -. Available from: https://e-journal.umc.ac.id/index.php/IP/article/view/2712

  7. Pajak Karbon Indonesia Tergolong Rendah di Skala global: Databoks [Internet]. Databoks Pusat Data Ekonomi dan Bisnis Indonesia; 2022 [cited 2022Apr12]. Available from: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/23/pajak-karbon-indonesia-tergolong-rendah-di-skala-global

  8. Selvi, Rahmi N, Rachmatulloh I. Urgensi Penerapan Pajak Karbon di Indonesia. Jurnal Reformasi Administrasi. 2020;7(1):29–34.

  9. United Nations Environment Programme. The Use of Economics Instruments in Environmental Policy: Opportunities and Challenges. Nairobi: United Nations Environment Programme Publications; 2004.


98 views0 comments

Commenti


bottom of page