PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini kian meradang seiring dengan semakin masifnya emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan oleh berbagai sektor. Bahkan, menurut Global Carbon Project (2023), tahun 2023 ditetapkan sebagai tahun dengan rekor emisi GRK tertinggi dari pembakaran bahan bakar fosil, yaitu mencapai 36,8 miliar ton CO2. Dalam laporan tersebut juga menunjukan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara dari sepuluh besar penghasil tertinggi di seluruh dunia. Jumlah emisi GRK di Indonesia meningkat sebesar 18,3% pada tahun 2022, salah satu yang paling signifikan dibanding negara-negara lainnya. Peningkatan emisi GRK di Indonesia terus terjadi seperti yang ditunjukkan pada gambar 1
Gambar 1. Peningkatan Emisi Karbon Tahunan Indonesia
Sumber. Global Carbon Budget 2023
Masifnya peningkatan emisi di Indonesia tidak terlepas dari kontribusi lintas sektor penghasil emisi GRK yang disebabkan oleh bahan bakar fosil. Salah satu yang memainkan peran krusial adalah sektor transportasi. Sektor transportasi, khususnya kendaraan bermotor, berperan signifikan dalam emisi GRK dan polusi udara di berbagai wilayah, termasuk beberapa diantaranya kota-kota besar di Indonesia. Emisi gas buang dari kendaraan bermotor menghasilkan polutan seperti nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), dan partikel halus yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan (Kementerian Lingkungan Hidup, 2013). Berdasarkan data Climate Transparency Report Indonesia 2022, sektor transportasi menyumbang 25%Â kontribusi terhadap emisi GRK di Indonesia.
Gambar 2. Emisi GRK di Indonesia berdasarkan Sektor yang Berkontribusi
Sumber. Climate Transparency Report 2022
Melihat tingginya emisi yang dihasilkan oleh sektor transportasi sebagai peringkat ke-2 penyumbang emisi terbesar di Indonesia, maka perlu adanya solusi konkret dan signifikan untuk membenahi masalah tersebut. Salah satunya adalah dengan menekan penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil dan bertransformasi menuju kendaraan hijau yang ramah lingkungan dan minim emisi.Â
Dalam konteks ini, kendaraan listrik atau electric vehicle (EV), menjadi salah satu alternatif transportasi ramah lingkungan yang menjanjikan. EV tidak menghasilkan gas buang sehingga dapat membantu mengurangi polusi udara dan emisi GRK di sektor transportasi. Selaras dengan potensinya yang menjanjikan, adopsi dan implementasi EV di Indonesia kini telah menunjukkan perkembangan yang signifikan. Hal ini dibuktikan dengan riset yang dilakukan oleh Foundry dan Deloitte dalam kurun waktu 2020-2022. Riset tersebut menunjukan bahwa penggunaan EV dalam negeri sudah mencapai lebih dari 33.000 kendaraan (Annur, 2023). Lebih lanjut, dalam data terbaru yang dilaporkan oleh Kementerian Perhubungan, telah terjadi kenaikan penggunaan EV di Indonesia. Hingga April 2024 tercatat jumlah EV atau Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KLBB) telah mencapai 133.225 unit (Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub, 2024).Â
Oleh karena itu, untuk mendorong percepatan transformasi kendaraan konvensional menuju kendaraan ramah lingkungan yang lebih efektif, diperlukan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan dan penerimaan masyarakat terhadap EV. Selain itu, penting untuk senantiasa mengkaji efisiensi dan efektivitas EV dalam mengurangi polusi udara dibandingkan kendaraan bermesin konvensional.
RUMUSAN MASALAH
A. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi dan penerimaan masyarakat terhadap motor listrik sebagai alternatif ramah lingkungan di Indonesia?
B. Bagaimana efisiensi dan efektifitas motor listrik dalam mengurangi polusi udara dibandingkan dengan kendaraan bermesin konvensional?
C. Apa tantangan implementasi motor listrik dan respon pemerintah dalam mengurangi polusi udara di indonesia?
PEMBAHASAN
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap Motor Listrik sebagai Alternatif Ramah Lingkungan di Indonesia
Di Indonesia, fokus penerapan EV terdiri dari berbagai jenis, mulai dari roda dua, roda tiga, hingga roda empat atau lebih. Kendaraan listrik atau yang biasa disingkat EV ini memanfaatkan energi listrik yang tersimpan dalam baterainya sebagai sumber penggeraknya. Selain sebagai aksi nyata untuk bertransisi ke kendaraan yang ramah lingkungan dan menekan emisi, upaya penggunaan EV ini merupakan wujud komitmen Indonesia dalam memenuhi Paris Agreement dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Perjanjian Paris atau Paris Agreement telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Hal ini menunjukkan tekad Indonesia untuk berkontribusi pada pengurangan emisi GRK secara global. Sebagai bentuk komitmen tersebut, Indonesia telah menetapkan target penurunan emisi melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Awalnya, target emisi GRK Indonesia sebesar 29% tanpa syarat dan 41% bersyarat (dengan dukungan internasional) pada tahun 2030. Namun, pada tahun 2022, target tersebut diperbaharui dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Target emisi tanpa syarat dinaikkan menjadi 31,89% dan bersyarat menjadi 43,20%. Lebih ambisius lagi, Indonesia menargetkan pencapaian net zero emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Hal ini menunjukkan komitmen kuat Indonesia untuk bertransisi ke energi baru terbarukan (EBT) sebagai upaya memerangi dampak perubahan iklim (Santoso, 2024). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa usaha peralihan penggunaan EV di Indonesia ini tidak hanya menjadi bagian dari adaptasi terhadap teknologi baru, tetapi juga merupakan langkah krusial dalam upaya mencapai target-target pengurangan emisi GRK yang telah ditetapkan
Setiap adaptasi peralihan penggunaan suatu teknologi memerlukan survei awal untuk mendapatkan gambaran mengenai penerimaan masyarakat terhadap teknologi baru yang akan diperkenalkan untuk penggunaan massal. Survei mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat mengenai EV telah dilakukan oleh PwC (PricewaterhouseCoopers) pada tahun 2023 silam. Keseluruhan responden berasal dari delapan kota yang terdiri atas Jakarta, Bekasi, Surabaya, Tangerang, Bogor, Medan, Semarang, dan Depok. Pemilihan lokasi responden yang sebagian besar merupakan kawasan metropolitan tersebut didasarkan pada kesesuaian medan dan jarak terhadap pengujicobaan kendaraan listrik, yaitu penggunaan untuk mencapai destinasi dalam kota dengan jarak dekat dan singkat. Artinya, kota metropolitan akan menjadi salah satu faktor utama pemilihan lokasi untuk penggunaan kendaraan listrik secara massal. Hal tersebut juga didukung oleh fakta pemakaian bahan bakar untuk motor konvensional yang diketahui 30 kali lebih tinggi di pusat perkotaan daripada di area pedesaan (Hernandez et al., 2019).
Jenis kelamin responden juga mempengaruhi keputusan masyarakat dalam membeli kendaraan listrik (PwC 2023). Hasilnya, sebagian besar responden merupakan masyarakat laki-laki (64%) yang menunjukkan ketertarikan untuk memiliki kendaraan listrik. PwC menduga bahwa fenomena tersebut berkaitan dengan kecenderungan laki-laki dalam memilih suatu kendaraan berdasarkan performa, daya, dan fitur yang tersedia. Perbandingan antara kendaraan listrik, khususnya motor listrik, dengan motor konvensional terhadap ketiga hal tersebut akan dibahas pada sub bab selanjutnya. Uniknya, masyarakat perempuan mempertimbangkan penggunaan kendaraan listrik berdasarkan aspek keamanan berkendara, estetika, dan dampak terhadap lingkungan. Perlu digaris bawahi bahwa motif kepedulian terhadap lingkungan cenderung ditemukan pada responden perempuan pada survei kali ini.
Faktor kelompok usia diduga juga akan mempengaruhi preferensi masyarakat dalam menggunakan kendaraan listrik (PwC 2023). Bertentangan dengan anggapan bahwa generasi Z (kelahiran 1997-2012) akan mendominasi kelompok usia responden pengguna kendaraan listrik, hasil survei justru menunjukkan bahwa generasi milenial (kelahiran 1981-1996) yang menjadi kelompok usia dominan (72%), diikuti generasi X (kelahiran 1965-1980) sebanyak 21%. Hal tersebut berkaitan dengan kebutuhan masyarakat kedua generasi tersebut, terlebih yang sudah berkeluarga, untuk dapat memanfaatkan teknologi transportasi yang praktis dengan performa mumpuni dan biaya lebih rendah. Berbeda dengan generasi Z yang cenderung akan mengadopsi kendaraan listrik karena mengikuti tren dan keterbukaan dalam gerakan peduli lingkungan di sosial media (7%).
B. Tingkat Efisiensi dan Efektivitas Motor Listrik dari Segi Lingkungan dan Ekonomi dibandingkan dengan Kendaraan Bermesin Konvensional
EV telah menjadi sorotan sebagai solusi inovatif untuk memerangi polusi udara dan emisi GRK yang dihasilkan oleh motor bermesin konvensional. Dibandingkan dengan pendahulunya yang berbahan bakar fosil, EV menawarkan efisiensi dan efektivitas yang jauh lebih unggul dari segi lingkungan. Namun, meskipun potensi adaptasi ini jelas, realitasnya masih menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat dengan kelas pendapatan sedang lebih cenderung mengandalkan motor konvensional yang menggunakan bahan bakar minyak. Data menunjukkan daya beli EV lebih banyak dijumpai pada masyarakat dengan kelas pendapatan sedang, yaitu sebesar 52%. Tingkat pendapatan tersebut kemudian memengaruhi jenis bahan bakar yang masyarakat pilih untuk keperluan berkendara. Oleh karena itu, masyarakat lebih banyak menggunakan motor konvensional yang memerlukan bahan bakar minyak (BBM) dalam pengoperasiannya (73%) (PwC 2023). Biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan energi pada kendaraan tentunya menjadi faktor utama untuk dipertimbangkan dalam pemakaian kendaraan jangka panjang, terlebih bagi para pelaku penyedia jasa transportasi seperti ojek online.Â
Suwignjo et al. (2022) melakukan sebuah riset mengenai perbedaan konsumsi energi antara motor konvensional dan motor listrik yang telah diterapkan oleh salah satu penyedia jasa layanan ojek online. Berdasarkan dari perhitungan tersebut diperoleh hasil biaya harian untuk penyediaan energi kendaraan yang berbeda-beda. Biaya untuk membeli bensin bagi motor konvensional sebesar Rp 24.615,00/hari (asumsi harga bensin Rp 9.950,00/liter), lebih murah dibandingkan biaya charging untuk motor listrik sebesar Rp 31.000,00/hari. Akan tetapi, kajian oleh Onggaria et al. (2023) menemukan apabila dihitung lebih lanjut, faktanya motor listrik akan memakan biaya yang lebih efisien ketimbang motor konvensional. Motor konvensional memerlukan 3,5 liter bensin untuk menempuh 100 km perjalanan sedangkan motor listrik memerlukan 3,3 kWh listrik untuk jarak yang sama. Kemudian, apabila dikonversikan dalam bentuk rupiah, biaya operasional (Rp 204.000,00/bulan) dan pajak (Rp 23.800,00) pada motor listrik lebih rendah daripada motor konvensional (Rp 1.028.571,00/bulan; Rp 242.000,00). Rendahnya utang pajak yang harus dibayarkan ini tentu tidak terlepas dari hadirnya insentif dari pemerintah sebagai stimulus penggunaan EV. Penggunaan motor listrik juga terbukti lebih ramah lingkungan. Dibandingkan dengan motor konvensional, emisi kendaraan listrik jauh lebih rendah. Kendaraan listrik hanya menghasilkan 2,06% CO2 dan 916 ppm emisi karbon, jauh lebih rendah dibandingkan dengan 4,5% CO2 dan 2000 ppm emisi karbon dari motor konvensional. Oleh karena itu, motor listrik terbukti jauh lebih ekonomis dan ramah lingkungan daripada motor konvensional.
Secara umum, motor listrik teruji lebih ramah lingkungan dalam menekan tingkat polusi udara daripada motor konvensional. Uji emisi karbon dan polusi udara lebih rinci dilakukan oleh Hernandez et al. (2019) pada motor keluaran Amerika.
Polutan | Motor Listrik (gr/km) | Motor Konvensional (gr/km) | Perbedaan (%) |
CO2 | 32 | 227 | -85.9% |
CH4 | 2 | 0.04 | -95% |
N2O | 6 | 5 | -82% |
NOx | 0.04 | 0.7 | -94.3% |
SO2 | 0.03 | 6 | -80% |
Tabel 1. Perbandingan Emisi Motor Listrik dengan Motor Konvensional
Hasil temuan tersebut diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh Dan et al. (2023) yang memaparkan bahwa, penggunaan motor listrik, baik yang hanya menggunakan baterai (battery electric vehicle, BEV) maupun tambahan daya plug-in (plug-in hybrid electric vehicle, PHEV) secara berturut-turut terbukti mengurangi potensi efek gas rumah kaca sebesar 23% dan 17% lebih rendah daripada motor konvensional.
Meskipun sebagian besar emisi karbon pada motor listrik lebih rendah, masih terdapat tantangan dalam hal emisi yang dihasilkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa motor listrik tetap dapat menghasilkan emisi, khususnya sulfur oksida dan metana. Adanya emisi kedua zat tersebut diduga disebabkan oleh pemanfaatan arang sebagai bahan baterai motor listrik, terutama pada produk keluaran dari Amerika (Hernandez et al. 2019). Fenomena serupa juga ditemukan oleh Dan et al. (2023) yang memprediksi bahwa penggunaan BEV dan PHEV masih memiliki konsekuensi peningkatan emisi, tergantung pada sumber daya yang digunakan. Pemakaian BEV dan PHEV memang dapat menekan efek gas rumah kaca, tetapi tidak dengan hasil limbah produksi baterai kendaraan dan penyediaan daya listrik untuk mengisi dayanya. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian khusus bahwa keluaran emisi karbon oleh kendaraan listrik sangat bergantung pada bahan-bahan yang digunakan sebagai baterainya.Â
Material dalam pembuatan baterai memang masih menghasilkan emisi, tetapi tidak sebanding dengan emisi yang dihasilkan dari proses pengisian daya dari baterai motor listrik tersebut. Jika listrik yang digunakan untuk pengisian daya masih berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang membakar batubara, maka emisi polutan berbahaya seperti NOx, SO2, dan PM (partikel halus) tetap akan terjadi. Oleh karena itu, transisi menuju energi listrik yang terbarukan harus tetap dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan polusi udara pada sektor transportasi secara holistik.
C. Tantangan Implementasi Motor Listrik dan Respon Pemerintah dalam Mengurangi Polusi Udara di Indonesia
Selama beberapa tahun implementasi EV, utamanya motor listrik di Indonesia, terdapat beberapa hambatan dan tantangan dalam penerapannya. Selaras dengan pemaparan di bagian sebelumnya, pilihan masyarakat untuk beralih ke motor listrik ditentukan oleh beberapa faktor dan variabel, tetapi faktor-faktor tersebut tidak serta merta menjadikan kendaraan listrik tersebut sebagai pilihan utama dalam bepergian. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden (72%) menjadikan kendaraan listrik sebagai kendaraan opsional. Terdapat setidaknya lima alasan utama yang menghalangi masyarakat untuk menjadikan kendaraan listrik sebagai moda transportasi utama. Faktor tersebut terdiri atas akses stasiun pengisian ulang motor listrik yang masih sulit ditemukan, ketidaktersediaan stasiun pengisian ulang di luar kawasan metropolitan, waktu pengisian baterai yang dianggap memerlukan waktu lama, batas jarak tempuh motor listrik, dan biaya pembelian dan perawatan motor listrik yang dianggap lebih mahal daripada motor bermesin konvensional.
Penggunaan motor listrik yang belum masif di Indonesia akan berdampak pada ketersediaan stasiun pengisian ulang energi yang hanya akan dapat ditemukan di pusat kota strategis. Selain itu, hasil uji oleh Hernandez et al. (2019) menemukan bahwa sampel motor listrik yang diuji memiliki keterbatasan jarak tempuh. Motor listrik menempuh jarak perjalanan 61,2% lebih pendek daripada motor konvensional. Hal serupa juga ditemukan pada kajian oleh Onggaria et al. (2023) dengan spesifikasi motor listrik sampel memiliki kecepatan maksimal hanya 60 km/jam dibandingkan dengan motor konvensional yang jauh lebih cepat, yaitu 140 km/jam. Khusus bagi pengemudi ojek online dengan motor listrik, biaya sewa baterai juga akan menjadi pertimbangan dalam penggunaan jangka panjang. Onggaria et al. (2023) memperkirakan bahwa satu pengemudi ojek online akan menghabiskan setidaknya Rp 480.089,00/bulan untuk perawatan motor listrik.
Isu minimnya sarana Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) telah ditanggulangi pemerintah dengan penerbitan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle)Â Untuk Transportasi Jalan (Perpres 79/2023). Dalam pasal 26 regulasi tersebut, telah diatur mengenai kemudahan penyesuaian instalasi listrik dan pembangunan SPKLU/SPBKLU di tempat umum untuk mempercepat adopsi EV. SPKLU harus didirikan di lokasi yang mudah dijangkau, memiliki tempat parkir khusus, dan tidak mengganggu kelancaran lalu lintas. Bahkan, SPKLU/SPBKLU dapat dibangun di lokasi strategis seperti SPBU, SPBG, kantor pemerintah, tempat perbelanjaan, dan parkiran umum. Instalasi listrik privat untuk pengisian EV juga diperbolehkan di kantor pemerintah dan hunian pribadi. Meskipun secara spesifik, Perpres 79/2023 mengatur tentang transportasi jalan, SPKLU dan SBPKLU tersebut nantinya akan tetap dibuka untuk umum. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menyediakan infrastruktur pengisian listrik yang memadai dan mudah diakses untuk mendorong penggunaan EV dan mewujudkan transisi menuju transportasi yang lebih ramah lingkungan.
Selain itu, Perpres 79/2023 memberikan sejumlah keistimewaan bagi investor yang tertarik berinvestasi dalam perusahaan kendaraan listrik. Pemerintah menawarkan insentif bea masuk hingga 0% dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) sebesar 0% bagi impor EV, baik dalam bentuk completely built-up (CBU) maupun completely knock down (CKD) dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di bawah 40%. Skema ini diharapkan dapat menarik minat para pelaku usaha untuk terjun ke industri EV, sekaligus mendorong minat konsumen untuk beralih ke kendaraan ramah lingkungan.
Dari segi kebijakan fiskal, pemerintah memang tidak tanggung-tanggung dalam memberikan insentif dan subsidi bagi seluruh kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) atau EV kepada penggunanya (Iqbal, 2024). Secara garis besar, pemerintah memberikan dua jenis kebijakan untuk mendorong penggunaan produk KBLBB, yaitu subsidi dan insentif. Subsidi merupakan pengurangan harga secara langsung, misalkan suatu motor listrik seharga Rp 22 juta bisa memperoleh potongan sebesar Rp7 juta. Regulasi mengenai subsidi tersebut merupakan satu dari beberapa langkah strategis yang diambil pemerintah yang dituangkan melalui Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 21 Tahun 2023 atas Perubahan Permenperin Nomor 6 Tahun 2023 tentang pedoman Pemberian Bantuan Pemerintah untuk Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai Roda Dua. Kebijakan ini memberikan subsidi kepada masyarakat untuk menjadikan harga motor listrik lebih terjangkau dengan subsidi ini. Selaras dengan bunyi pasal 3 Permenperin a quo, setiap KTP yang diajukan akan mendapatkan potongan harga sebesar Rp7 juta.Â
Berbeda dengan subsidi yang menawarkan bantuan langsung, insentif memberikan kemudahan atau keringanan pada syarat tertentu. Contohnya, keringanan pajak yang diberikan kepada pembeli mobil listrik. Dalam hal ini, mobil listrik memang tidak mendapatkan subsidi langsung seperti motor listrik. Namun, pemerintah Indonesia memberikan berbagai insentif untuk mendorong transisi mobil listrik. Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 8 Tahun 2024 Pasal 4 Ayat (2) memberikan insentif menarik bagi pembeli mobil listrik, yaitu PPN yang Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 10%. Insentif ini berlaku untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) roda empat dan bus tertentu yang memenuhi kriteria Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) 10%. Dengan insentif ini, konsumen hanya perlu membayar 1% dari harga jual untuk pajak mobil listrik, jauh lebih rendah dibandingkan tarif PPN mobil pada umumnya yang sebesar 11%.Â
Meskipun telah terdapat insentif dan subsidi dari pemerintah, transisi ke KBLBB roda dua di Indonesia masih terhambat berbagai kendala. Kuota awal 200.000 unit untuk tahun 2023 terbukti belum terserap secara maksimal. Hal ini menyebabkan penambahan kuota subsidi yang signifikan untuk tahun 2024. Berdasarkan data di Sistem Informasi Bantuan Pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Roda Dua (SISAPIRa), total kuota subsidi motor listrik tahun 2024 mencapai 400.000 unit. Angka ini digabungkan dengan sisa kuota tahun 2023 yang belum terserap, sehingga total kuota keseluruhan menjadi 590.603 unit.
Data SISAPIRa per 28 Juni 2024 menunjukkan jumlah pendaftar yang jauh dari target. Dari total kuota 590.603 unit, hanya 13.627 proses pendaftaran, 4.253 orang yang terverifikasi, dan 19.511 unit yang tersalurkan. Hingga kini, masih tersedia 562.609 Sisa kuota untuk tahun 2024. Berdasarkan urgensi transisi penggunaan transportasi yang lebih berkelanjutan demi menurunkan tingkat polusi udara, diperlukan beberapa mekanisme lanjutan untuk mengurangi tingkat polusi udara di sektor transportasi.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. KESIMPULAN
Faktor Adopsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap Motor Listrik
1. Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat
Masyarakat di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan menunjukkan minat yang signifikan terhadap motor listrik, terutama di kalangan pria dan generasi milenial. Faktor yang memengaruhi keputusan mereka meliputi performa kendaraan, biaya, dan dampak lingkungan.
2. Demografi
Pria lebih cenderung membeli motor listrik karena mempertimbangkan aspek performa dan fitur, sementara wanita lebih memperhatikan keamanan, estetika, dan dampak lingkungan. Generasi milenial yang memiliki kebutuhan praktis dan biaya yang lebih efisien, mendominasi adopsi motor listrik.
Efisiensi dan Efektivitas Motor Listrik
1. Lingkungan
Motor listrik terbukti jauh lebih ramah lingkungan dibandingkan motor konvensional, dengan emisi CO2 dan polutan lainnya yang jauh lebih rendah. Ini menjadikannya sebagai solusi yang efektif dalam mengurangi polusi udara dan emisi GRK.
2. Ekonomi
Meskipun biaya awal motor listrik lebih tinggi dan biaya pengisian baterai lebih besar dibandingkan bahan bakar konvensional, biaya operasional jangka panjang seperti perawatan dan pajak cenderung lebih rendah. Namun, efisiensi biaya ini sangat bergantung pada sumber listrik yang digunakan untuk mengisi baterai.
Tantangan Implementasi Motor Listrik dan Respons Pemerintah
1. Tantangan
Implementasi motor listrik menghadapi kendala signifikan, seperti keterbatasan infrastruktur pengisian, waktu pengisian yang lama, jarak tempuh yang terbatas, dan biaya yang tinggi. Hal ini mengakibatkan motor listrik seringkali hanya menjadi pilihan opsional bagi masyarakat.
2. Respons Pemerintah
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah signifikan untuk mendorong adopsi motor listrik melalui regulasi seperti Perpres 79/2023 dan insentif fiskal untuk kendaraan listrik. Namun, penyerapan subsidi dan insentif masih rendah, dengan kuota subsidi yang belum sepenuhnya terpakai karena interest masyarakat yang masih relatif rendah.
B. REKOMENDASI
Peningkatan Infrastruktur
1. Stasiun Pengisian
Perluasan dan peningkatan jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) di luar kawasan metropolitan untuk mengatasi masalah aksesibilitas. Pemerintah dan sektor swasta harus bekerja sama untuk membangun infrastruktur ini secara merata di seluruh wilayah.
2. Pembangunan Jaringan Pengisian
Mendorong pembangunan stasiun pengisian listrik di lokasi strategis seperti SPBU, tempat perbelanjaan, dan area perkantoran untuk mempermudah akses bagi pengguna kendaraan listrik.
Kampanye Informasi
Melakukan kampanye informasi yang lebih intensif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat lingkungan dan ekonomi dari motor listrik. Pemerintah dapat melanjutkan dan mengevaluasi penyediaan informasi yang jelas dan akurat mengenai efisiensi dan biaya jangka panjang untuk mendorong adopsi.
Transisi Menuju Energi Listrik Terbarukan
Penggunaan dan pengembangan EV, termasuk motor listrik tanpa adanya usaha transisi menuju energi listrik yang terbarukan hanya akan menyelesaikan permasalahan dengan sementara. Listrik terbarukan sebagai pengisi daya EV akan memastikan bahwa keuntungan lingkungan dari kendaraan listrik tidak tereduksi oleh emisi dari pembangkit listrik fosil. Dengan menggantikan energi dari PLTU batubara dengan sumber energi bersih seperti tenaga surya, angin, atau biomassa, pengurangan emisi dapat dimaksimalkan. Selain itu, penggunaan energi terbarukan akan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memperkuat ketahanan energi nasional, mendukung tujuan jangka panjang untuk keberlanjutan dan perlindungan lingkungan.
DAFTAR REFERENSI
Annur, C. M. (2023, September 15). Riset Deloitte dan Foundry: Penggunaan Motor Listrik di Indonesia Naik 13 Kali Lipat dalam Dua Tahun. Databoks. Retrieved April 23, 2024, from https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/09/15/riset-deloitte-dan-foundry-penggunaan-motor-listrik-di-indonesia-naik-13-kali-lipat-dalam-dua-tahunÂ
Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub. (2024, April 30). Menhub: Ekosistem Kendaraan Listrik Butuh Kolaborasi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Kementerian Perhubungan. Retrieved June 28, 2024, from https://www.dephub.go.id/post/read/menhub--ekosistem-kendaraan-listrik-butuh-kolaborasiÂ
Dan, Z., Yan, D., Huajun, C., Yuke, L., Jia, W., Zhenbia, L., Hauschild, M. W. Are the electric vehicles more sustainable than the conventional ones? Influences of the assumptions and modeling approaches in the case of typical cars in China. Resources, Conservation and Recycling, 167. 1–8. https://doi.org/10.1016/j.resconrec.2020.105210
Hardiantoro, A., & Afifah, M. N. (2024, January 6). 4 Kelompok Penerima Subsidi Motor Listrik Rp 10 Juta dan Aturan Terbarunya. Kompas.com. Retrieved April 23, 2024, from https://www.kompas.com/tren/read/2024/01/06/080100165/4-kelompok-penerima-subsidi-motor-listrik-rp-10-juta-dan-aturan-terbarunyaÂ
Hernandez, M., Kockelman, K. M., Lentz, J. O., & Lee, J. (2019, November 19). Emissions and noise mitigation through use of electric motorcycles. Transportation Safety and Environment, 1(2), 164-175. https://doi.org/10.1093/tse/tdz013Â
Iqbal. (2024, Februari 16). Daftar Insentif Pemerintah untuk Pengembangan Ekosistem Mobil Listrik di Indonesia. ipol.id. Retrieved April 23, 2024, from https://ipol.id/2024/02/daftar-insentif-pemerintah-untuk-pengembangan-ekosistem-mobil-listrik-di-indonesia/Â
Kementerian Lingkungan Hidup. (2013, Agustus). PEDOMAN TEKNIS PENYUSUNAN INVENTARISASI EMISI PENCEMAR UDARA DI PERKOTAAN. Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan. Retrieved April 23, 2024, from https://ppkl.menlhk.go.id/website/filebox/609/190710181542PEDOMAN%20TEKNIS%20PENYUSUNAN%20INVENTARISASI%20EMISI.pdfÂ
KOMPAS.com. (2024, Februari 16). Insentif Mobil Listrik 2024 Segera Disahkan. KOMPAS.com. Retrieved April 23, 2024, from https://video.kompas.com/watch/1246405/insentif-mobil-listrik-2024-segera-disahkan
Â
Onggaria, E., Marhaendra, F., Pratama, I. N., & Manurung, O. E. (2023). Comparative Analysis of Combustion and Electric Motorcycle as an Alternative Online-Based Transportation in Indonesia. 574–580.Â
Pricewaterhouse Coopers Indonesia. (2023). Indonesia Electric Vehicle Consumer Survey 2023 (Issue September).
Santoso, R. (2024, February 1). Pengurangan Emisi dan Insentif Karbon (IS Kom IV Feb 1 2024). DPR RI. Retrieved June 28, 2024, from https://berkas.dpr.go.id/pusaka/files/isu_sepekan/Isu%20Sepekan---I-PUSLIT-Februari-2024-36.pdfÂ
Suwignjo, P., Yuniarto, M. N., Nugraha, Y. U., Desanti, A. F., Sidharta, I., Wiratno, S. E., & Yuwono, T. (2023, January 18). Benefits of Electric Motorcycle in Improving Personal Sustainable Economy: A View from Indonesia Online Ride-Hailing Rider. International Journal of Technology (IJTech), 14(1), 38-53. https://doi.org/10.14716/ijtech.v14i1.5454Â
Comments