top of page
Search
Writer's pictureraihan alfarisi

Analisis Perbandingan Manajemen dan Kuantitas Municipal Solid Waste di Indonesia dan Malaysia

LATAR BELAKANG  Permintaan akan sumber daya di seluruh dunia saat ini semakin meningkat secara drastis di tengah gempuran kemajuan globalisasi serta kegiatan ekonomi. Hal tersebut berimplikasi pada banyaknya kuantitas limbah yang dihasilkan, terutama limbah padat yang terus meningkat dan menyebabkan berbagai efek negatif pada lingkungan. Berdasarkan Aprilia (2021), limbah atau sampah merupakan sumber emisi gas rumah kaca yang menyumbang sekitar 1,580 miliar ton CO2e (setara CO2), yang apabila dijadikan persentase setara dengan 3,2% dari total emisi CO2 di seluruh dunia. Angka yang besar ini memerlukan perhatian dan peninjauan yang signifikan, khususnya dalam konteks praktik atau manajemen dan kebijakan pengelolaan limbah. 


Manajemen limbah padat, terutama limbah kota atau seringkali disebut municipal solid waste, menimbulkan tantangan lingkungan yang signifikan, terutama di kota-kota besar di berbagai negara maju dan berkembang di Asia. Peningkatan pesat produksi sampah berkorelasi dengan pertumbuhan kawasan perkotaan, industri, dan perekonomian. Menurut ESCAP (2022), hampir separuh penduduk dari negara ASEAN termasuk Indonesia dan negara jiran, Malaysia, tinggal di perkotaan. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2025, terdapat tambahan 70 juta orang yang akan bermigrasi ke kota. Peningkatan populasi yang signifikan dan kemajuan pesat di area perkotaan sudah dipastikan akan membebani sistem pengelolaan sampah kota yang sudah kewalahan. Tantangan lingkungan yang terus-menerus ini masih menjadi perhatian penting, membahayakan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Tanpa implementasi dan penegakan kebijakan lingkungan yang efektif, pengelolaan limbah padat yang saat ini sedang berlangsung akan semakin sulit untuk diperluas dan diakselerasi.


Oleh karena itu, studi komparatif sangat penting untuk memahami problematika di negara-negara ASEAN, khususnya Indonesia dan Malaysia, dari berbagai aspek. Studi ini juga bermanfaat dalam mengatasi tantangan global terkait limbah padat. Dengan belajar dari pengalaman dan inovasi satu sama lain, Indonesia dan Malaysia dapat meningkatkan sistem pengelolaan limbah mereka, yang pada akhirnya berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat. Selain itu, hasil studi ini akan mengarah pada rekomendasi konkret untuk strategi pengelolaan limbah yang lebih efektif, yang akan dibahas lebih lanjut.


RUMUSAN MASALAH


  1. Bagaimana kuantitas Municipal Solid Waste Indonesia dan Malaysia, dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi perbedaannya?

  2. Bagaimana manajemen Municipal Solid Waste antara Indonesia dan Malaysia?

  3. Apa rekomendasi yang dapat disarankan untuk meningkatkan efektivitas management Municipal Solid Waste (MSW) di Indonesia dan Malaysia?


PEMBAHASAN


  • Perbandingan Kuantitas Municipal Solid Waste di Indonesia dan Malaysia


Di Indonesia, masalah sampah perkotaan menjadi semakin serius seiring dengan bertambahnya jumlah populasi. Setiap hari, diperkirakan terdapat sekitar 175.000 ton sampah yang dihasilkan, setara dengan sekitar 0,7 kilogram per kapita. Ada juga perkiraan lain yang menyebutkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu sekitar 91.324,49 ton sampah per hari. Tahun demi tahun, volume sampah di Indonesia terus meningkat, dengan perkiraan antara 64 juta pada 2016 hingga 68 juta ton pada tahun 2019. Komposisi sampah kota di Indonesia yang sebagian besar adalah sampah organik (lebih dari 55-60% beratnya), dengan sampah anorganik sekitar 40%, dan 5% sisanya terdiri dari komponen anorganik yang dapat didaur ulang.


Indonesia terkenal sebagai salah satu produsen sampah terbesar di Asia Tenggara, khususnya sampah makanan. Diproyeksikan bahwa Indonesia akan menjadi produsen sampah makanan terbesar di kawasan ini, dengan total 38,4 juta ton per tahun. Urbanisasi yang cepat, peningkatan daya beli, dan gaya hidup yang konsumtif merupakan faktor utama yang berkontribusi pada jumlah sampah makanan yang tinggi ini. Secara keseluruhan, Indonesia menghasilkan lebih banyak sampah perkotaan daripada negara lain di Asia Tenggara seperti Thailand, Vietnam, dan Filipina. Komposisi sampah di Indonesia mencerminkan tren regional, dengan sampah organik mendominasi, atau 50-70% dari total sampah yang dihasilkan.


Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, timbulan sampah di Indonesia jauh lebih tinggi. Sebagai contoh, Filipina menghasilkan sekitar 10,55% dari total sampahnya adalah plastik atau sekitar 1,5 juta ton pertahunnya, sedangkan Indonesia menghasilkan sampah plastik yang lebih tinggi, yaitu 14% atau 8,9 juta pertahun. Perbandingan ini menggarisbawahi tantangan pengelolaan sampah yang besar yang dihadapi Indonesia. Besarnya volume sampah yang dihasilkan membutuhkan strategi pengurangan dan daur ulang sampah yang efektif untuk mengurangi dampak lingkungan dan kesehatan. Mengatasi masalah ini sangat penting untuk meningkatkan praktik pengelolaan sampah dan memastikan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.


Sementara itu, di Malaysia, timbulan sampah menunjukkan kesenjangan yang mencolok antara perkotaan dan pedesaan. Daerah perkotaan menghasilkan rata-rata 1,9 kg sampah per kapita per hari, sementara daerah pedesaan menghasilkan antara 0,5 hingga 0,8 kg per kapita per hari, yang berarti tingkat MSW per kapita di Malaysia sebesar 1,17 kg per hari pada tahun 2016. Setiap tahunnya, jumlah ini mencapai sekitar 12,84 juta ton, yang mencerminkan tantangan produksi sampah yang signifikan yang perlu ditangani untuk memastikan praktik pengelolaan sampah yang berkelanjutan.


Komposisi sampah di Malaysia didominasi oleh sampah makanan, yang mencapai 45% dari total sampah. Sampah plastik menyumbang sekitar 13,2%, dan sisanya terdiri dari jenis sampah lainnya. Meskipun sampah organik sangat tinggi, Malaysia belum mengadopsi praktik pengomposan secara luas dan lebih memilih teknologi pembakaran sampah (insinerasi). Akibatnya, 80% sampah residu dibuang ke tempat pembuangan akhir. Hal ini menunjukkan perlunya perbaikan dalam strategi pengelolaan sampah, karena tingginya jumlah sampah organik menunjukkan bahwa pengomposan bisa menjadi solusi efektif untuk mengurangi ketergantungan pada tempat pembuangan akhir.Meskipun Indonesia dan Malaysia menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan sampah perkotaan, perbedaan kuantitas sampah per kapita dan total volume sampah sangat mencolok. Indonesia, dengan populasi yang jauh lebih besar, menghasilkan jumlah sampah yang signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia. Diperkirakan bahwa Indonesia menghasilkan sekitar 175 ribu ton sampah per hari, atau sekitar 0,7 kg per kapita, sementara Malaysia memiliki tingkat sampah per kapita sebesar 1,17 kg per hari pada tahun 2016.


Di Asia Tenggara, Malaysia berada di urutan kelima dalam produksi sampah tahunan, dengan jumlah sekitar 12,84 juta ton per tahun. Sementara itu, Indonesia menjadi nomor satu dengan timbulan sampah 64 juta ton, diikuti oleh Thailand dengan 26,77 juta ton, Vietnam dengan 22 juta ton, dan Filipina dengan 14,66 juta ton. Perbandingan ini menggambarkan skala yang berbeda dalam masalah pengelolaan sampah di antara negara-negara tersebut, dengan Indonesia sebagai produsen sampah terbesar di kawasan Asia Tenggara. Meskipun Malaysia memiliki tingkat sampah per kapita yang lebih rendah, tantangan pengelolaan sampah yang dihadapinya tetap signifikan, mengharuskan adopsi strategi yang efektif untuk mengurangi dampak lingkungan dan mengaplikasikan manajemen MSW yang tepat.


  • Perbandingan Manajemen Municipal Solid Waste antara Indonesia dan Malaysia


Analisis Manajemen Sampah Padat Kota di Indonesia dari Aspek Teknis mencakup berbagai elemen yang penting dalam pengelolaan sampah. Titik-titik penghasil sampah mencakup area perumahan, komersial, industri, dan institusi publik seperti rumah sakit dan sekolah. Di titik-titik ini, sampah biasanya disimpan sementara dalam wadah seperti tong plastik atau kotak bata sebelum diangkut ke stasiun transfer. Sistem pengumpulan sampah berbeda-beda di setiap area di kawasan komersial besar, beberapa penghasil sampah menggunakan truk pribadi untuk mengangkut sampah langsung ke tempat pembuangan akhir, sementara di kawasan perumahan, pengumpulan sampah sering dilakukan oleh pekerja yang menggunakan gerobak tangan. TPS dirancang untuk memudahkan pengumpulan dan mengurangi jarak pengangkutan, sehingga menekan biaya transportasi. Beberapa TPS 3R di Indonesia dilengkapi dengan sistem pengelolaan sampah supaya mengurangi pemasukan ke TPA. Sampah kemudian diangkut menggunakan truk arm-roll atau truk umum ke tempat pembuangan akhir yang sering kali berada di luar kota karena keterbatasan lahan di perkotaan.


Dari aspek non teknis, manajemen sampah padat kota di Indonesia juga dipengaruhi oleh sektor informal, sistem hukum, dan aspek finansial. Sektor informal, seperti pemulung dan pekerja pengangkut sampah, berperan signifikan dalam proses daur ulang di titik-titik penghasil sampah, pinggir jalan, dan tempat pembuangan akhir. Sistem hukum diatur oleh undang-undang mengenai lingkungan untuk mengakomodasi manajemen sampah padat kota secara lebih spesifik. Aspek finansial merupakan tanggung jawab pemerintah kota, dengan biaya pengumpulan sampah seringkali digabung dengan biaya layanan komunitas lainnya, seperti keamanan dan perbaikan lingkungan. Biaya ini bervariasi tergantung pada kondisi sosial ekonomi wilayah tersebut. Selain itu, biaya pengangkutan dan pembuangan sampah biasanya dibayar bersama dengan tagihan air atau listrik, dan biaya yang dikeluarkan untuk retribusi sampah sangat kecil dibandingkan kebutuhan anggaran pengelolaannya.


Pengelolaan Municipal Solid Waste (MSW) di Malaysia berada di bawah tanggung jawab Kementerian Perumahan dan Pemerintahan Lokal (MHLG). Undang-Undang Pemerintahan Lokal 1976 mewajibkan otoritas lokal untuk menyediakan layanan pembersihan publik dan membuang sampah dengan cara yang higienis. Namun, otoritas lokal menghadapi banyak tantangan dalam pengumpulan dan transportasi sampah, dengan sekitar 50% dari anggaran operasional mereka dihabiskan untuk pengelolaan sampah, dan lebih dari separuhnya untuk pengumpulan sampah saja. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mendirikan Departemen Pengelolaan Sampah Nasional sebagai badan pengatur dan Perusahaan Pengelolaan Sampah dan Pembersihan Publik untuk mengoperasikan layanan tersebut, menggantikan peran otoritas lokal dalam mengelola sampah dan mengawasi para konsesioner. 


Pada tahun 2007, Undang-Undang Pengelolaan Sampah dan Pembersihan Publik mengukuhkan, memungkinkan pengambilalihan pengelolaan sampah oleh pemerintah federal dan privatisasi penanganan sampah. Pelanggaran terhadap undang-undang ini dikenakan denda yang berat, mulai dari RM 10,000 hingga RM 100,000 dan hukuman penjara hingga lima tahun. Saat ini, metode pembuangan utama untuk MSW di Malaysia adalah penimbunan sampah, namun sebagian besar lokasi penimbunan adalah tempat pembuangan terbuka yang menimbulkan ancaman lingkungan dan sosial yang serius. Oleh karena itu, ada upaya untuk meningkatkan efisiensi lokasi penimbunan melalui empat level perbaikan: pembuangan terkontrol, sanitary landfill dengan penutup harian, sanitary landfill dengan sirkulasi leachate, dan sanitary landfill dengan pengolahan leachate.


Program daur ulang di Malaysia diluncurkan pada tahun 1993 dan dikelola ulang pada tahun 2000 dengan penetapan Hari Daur Ulang Nasional pada tanggal 11 November. Meski demikian, tingkat partisipasi masyarakat dalam program ini masih perlu ditingkatkan untuk mencapai target pengalihan 20% dari MSW dari tempat pembuangan akhir. Selain itu, teknologi insinerasi telah diimplementasikan di beberapa pulau seperti Langkawi, Pangkor, Tioman, dan Labuan untuk mengatasi masalah limbah, dengan rencana pembangunan lebih lanjut di wilayah lain. 


Keunggulan pengelolaan MSW di Malaysia dibandingkan dengan Indonesia terletak pada kerangka hukum yang kuat, pendanaan yang memadai, dan upaya privatisasi yang telah meningkatkan efisiensi operasional. Malaysia juga menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap pengelolaan limbah yang berkelanjutan melalui perencanaan jangka panjang dan adopsi teknologi canggih dari negara-negara maju. Dukungan dari pemerintah dan partisipasi masyarakat yang lebih baik dalam program daur ulang juga berperan penting dalam meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah di Malaysia. Untuk memperbaiki pengelolaan sampah di Indonesia, pemerintah dapat mengadopsi pendekatan serupa dengan memperkuat kerangka hukum, meningkatkan investasi dalam teknologi pengelolaan limbah, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam program daur ulang.


  • Rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas Municipal Solid Waste di Indonesia dan Malaysia

Menurut laporan dari United Nation oleh Jain, A (2017), terdapat beberapa kelemahan dalam penanganan Municipal Solid Waste (MSW) yang memerlukan perbaikan dan peningkatan di ASEAN. Di Indonesia, salah satu tantangan utama adalah kekurangan teknologi untuk pengelolaan aliran limbah. Saat ini, konsep minimalisasi sampah dan zero waste masih berada pada tahap program dan percontohan dan perlu diterapkan lebih luas. Misalnya, inisiatif pengelolaan sampah dan pertukaran sampah telah berhasil dicoba dalam konteks MSW. Meskipun fasilitas daur ulang tersedia di kota-kota besar, fasilitas khusus untuk mendaur ulang limbah konstruksi belum tersedia. Di tingkat kota, penanganan dan pengolahan sampah seringkali belum memadai. Ada kebutuhan untuk membangun kapasitas dalam memilih teknologi yang paling tepat. Selain itu, masalah lain termasuk kurangnya sumber daya manusia dan keuangan, serta rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan limbah. Untuk limbah medis, Indonesia belum memiliki kebijakan atau peraturan khusus, sehingga pengelolaannya masih merujuk pada peraturan umum tentang Pengelolaan Limbah B3. Koordinasi antar departemen terkait juga perlu ditingkatkan

Di Malaysia, belum ada perencanaan dan skema pengelolaan sampah yang terpadu. Negara ini juga kekurangan pemahaman yang mendalam tentang komposisi sampah, yang menghambat pengembangan rencana strategis holistik untuk pengelolaan sampah. Malaysia perlu meningkatkan infrastruktur daur ulang khususnya untuk aliran limbah tertentu, sesuai dengan peraturan yang ada terkait Extended Producer Responsibility (EPR).


Daftar Referensi


Aprilia, A., 2021. Waste Management in Indonesia and Jakarta: challenges and way forward.

Proceedings of the 23rd ASEF Summer University, Virtual, 20.

Mochammad, Chaerul., Masaru, Tanaka., Ashok, V., Shekdar. (2007). Municipal solid waste

management in indonesia: status and the strategic actions.   

Mohd, Dinie, Muhaimin, Samsudin., Mashitah, Mat, Don. (2013). Municipal Solid Waste

Management in Malaysia: Current Practices, Challenges and Prospects.   Doi:

10.11113/JT.V62.1293

Jain, A., 2017. Waste management in ASEAN countries. Summary Report, United Nations Environment Programme.

SMI Insight. 2018. Waste Management. Insight SMI 2018 Q3.

Romianingsih, N. P. W. 2023. Waste to energy in Indonesia: opportunities and challenges. Journal of Sustainability, Society, and Eco-Welfare, 1(1).

Maryanti, D. F. (2017). Performance of community-based solid waste management for integrated and sustainable solid waste management: The case of Bogor City, Indonesia (Doctoral dissertation, Unesco-Ihe).

Arumdani, I. S., Puspita, A. S., & Budihardjo, M. A. (2021, November). MSW handling of top 5 leading waste-producing countries in Southeast Asia. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 896, No. 1, p. 012003). IOP Publishing.

Kadir, A. A., & Abidin, S. S. S. Z. (2016, July). Solid Waste Composition and Quantification at Taman Melewar, Parit Raja, Batu Pahat. In IOP Conference Series: Materials Science and Engineering (Vol. 136, No. 1, p. 012047). IOP Publishing.





70 views0 comments

Comentarios


bottom of page